Saturday, March 26, 2022

 

Jurnal Minggu ke 15

Tri Andari Setyaningrum

CGP Angkatan 4_ SMA Negeri 7 Surakarta

 

Pada Jurnal Minggu ke 15 ini saya mencoba menggunakan model:

Refleksi Model 6 (5R): Reporting, Responding, Relating, Reasoning, Recontructing 

Reporting

Alhamdulillah minggu ini setelah aksi nyata penerapan pembelajaran berdiferensiasi dan kompetensi sosial emosional, CGP melangkah menuju materi modul 2.3 tentang Coaching. Awal mula membaca materi mulai dari diri sendiri CGP mendapatkan quisioner yang harus diisi terkait pengalaman di sekolah dalam mengatasi permasalahan yang pernah dihadapi saat mengajar di sekolah. Berlanjut di eksplorasi konsep mandiri, CGP mendapatkan tambahan materi terkait definisi coaching, perbedaan antara coaching, mentoring dan konseling serta langkah langkah yang dapat diambil dalam proses coaching yang sesuai dengan model TIRTA.






Responding

Terkait dengan materi coaching ini, sungguh sangat bermanfaat bagi saya pribadi sebagai seorang guru, yang menghadapi berbagai karakter dan permasalahan dari anak didik. Pengetahuan akan langkah langkah coaching sedikit membuka dan menambah wawasan saya dalam pelaksanaan coaching. Menurut Grant (1999) : “coaching merupakan sebuah proses kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil dan sistematis, dimana coach memfasilitasi peningkatan atas performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi dari coachee. Menurut Whitmore (2003) coaching merupakan kunci pembuka potensi seseorang untuk memaksimalkan kinerjanya, dimana coaching lebih kepada membantu seseorang untuk belajar dari pada mengajarinya. Sedangkan International Coach Federation (ICF) mendifinisikan coaching sebagai bentuk kemitraan bersama klien (coachee) untuk memaksimalkan potensi pribadi dan professional. Dari pengertian-pengertian di atas, maka ada beberapa prinsip teknik coaching, yaitu:

Ø  fokus pada solusi dan berorientasi pada hasil;

Ø  solusi yang diberikan sistematis;

Ø  choaching harus dapat memberikan fasilitas untuk meningkatkan performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi dari choachee;

Ø  coaching dapat membuka potensi dari seseorang untuk menyelesaikan masalahnya sendiri dan memaksimalkan kinerjanya

Ø  coaching membantu seseorang belajar bukan mengajari

Ø  hubungan antara coach dan coachee bersifat kemitraan

Ø  seorang coach bisa siapa saja tidak harus seorang yang ahli atau berpengalaman

 

Pada minggu ini CGP diajak untuk berlatih melakukan coaching dengan diberikan 3 kasus dimana kita diajak untuk bermain peran sebagai seorang Coach, coachee dan pengamat secara bergantian melalui ruang kolaborasi. Kemudian kami mempresentasikan hasil dari praktik kelompok kami yang sudah direkam dan meminta saran dari teman- teman CGP yang lain.

Relating

Dalam proses coaching murid diberikan kebebasan dan guru dapat memberikan tuntunan melalui pertanyaan-pertanyaan reflektif agar kekuatan yang dimiliki oleh murid dapat tumbuh. Sebagaimana filosofi Ki Hajar Dewantara bahwa tujuan pendidikan adalah menuntun tumbuhnya atau hidupnya kekuatan kodrat anak sehingga dapat memperbaiki lakunya.

Salah satu penerapan pinsip-prinsip coaching di sekolah yang dapat dilakukan oleh guru agar murid memiliki kemandirian dalam mencari jawaban dari permasalahan pembelajaran dalam suatu materi, maka hendaknya guru memberikan berbagai alternatif kepada mereka untuk menggunakan media, sumber belajar, dan  cara apa yang ingin mereka gunakan sesuai dengan minat, kebutuhan belajar, dan profil belajar murid.

Reasoning 

Coaching menjadi proses yang sangat penting dilakukan di sekolah terutama dengan diluncurkannya program merdeka belajar, di mana program ini membuat murid menjadi lebih merdeka dalam belajar sehingga murid dapat memaksimalkan potensi yag dimiliki. Dari pertanyaan-pertanyaan reflektif yang mendalam akan membuat murid lebih berpikir secara kritis dan mendalam yang akhirnya mereka dapat menemukan potensi yang ada di dalam diri dan kemudian mengembangkan potensi tersebut. Setiap murid memiliki potensi yang berbeda, untuk mengembangkan potensi tersebut, merupakan tanggung jawab seorang guru yang dapat dilakukan dengan proses coachingCoaching merupakan alat untuk dapat memaksimalkan potensi murid, sehingga seorang guru hendaknya memiliki keterampilan coaching diantaranya adalah keterampilan berkomunikasi. Selain keterampilan berkomunikasi, International Coach Federation (ICF) memberikan acuan mengenai empat kelompok kompetensi dasar bagi seorang coach yaitu :

1.      Keterampilan membangun dasar proses coaching

2.      Keterampilan membangun hubungan baik

3.      Keterampilan berkomunikasi

4.      Keterampilan memfasilitasi pembelajaran

 

Salah satu model coaching adalah TIRTA yang dikembangkan dari model coaching GROW yang dikenal sangat luas dan telah diaplikasikan. GROW kepanjangan dari Goal, Reality, Options, dan Will. Model TIRTA dikembangkan dengan semangat merdeka belajar yang menuntut guru untuk memiliki keterampilan coaching. TIRTA kepanjangan dari Tujuan, Identifikasi, Rencana Aksi, dan Tanggung jawab. Dari segi Bahasa TIRTA berarti air. Air mengalir dari hulu ke hilir, jadi apabila diibaratkan murid adalah air maka biarkan mereka merdeka dan mengalir lepas sedangkan guru bertugas menjaga air tersebut tetap mengalir tanpa sumbatan-sumbatan yang dapat menghambat potensi mereka dengan keterampilan coaching yang dimiliki oleh guru.

Recontructing

Setelah mendapat pengetahuan dan wawasan tentang coaching, saya menjadi sedikit lebih memahami apa perbedaan coaching, konseling dan juga mentoring. Saya ingin lebih memperdalam ilmu dan keterampilan ini sebagai kompetensi yang mendukung profesi saya sebagai guru dengan menerapkan model coaching TIRTA (Tindakan, Identifikasi, Rencana Aksi dan Tanggung Jawab) pada setiap permasalahan murid sehingga saya dapat membantu murid untuk menggali potensi yang ada di dalam diri dan mendorong mereka untuk terus berkembang sesuai dengan potensi tersebut. Untuk kedepannya saya akan terus berlatih menggali pertanyaan – pertanyaan yang reflektif dengan mempraktikkan model TIRTA ini.

 

 

Jurnal Minggu ke 14

Tri Andari Setyaningrum

CGP Angkatan 4_ SMA Negeri 7 Surakarta

 

Pada Jurnal Minggu ke 14 ini saya mencoba menggunakan model:

Refleksi Model 6 (5R): Reporting, Responding, Relating, Reasoning, Recontructing 

Reporting

Alhamdulillah minggu ini setelah aksi nyata penerapan pembelajaran berdiferensiasi dan kompetensi sosial emosional, CGP melangkah menuju materi modul 2.3 tentang Coaching. Awal mula membaca materi mulai dari diri sendiri CGP mendapatkan quisioner yang harus diisi terkait pengalaman di sekolah dalam mengatasi permasalahan yang pernah dihadapi saat mengajar di sekolah. Berlanjut di eksplorasi konsep mandiri, CGP mendapatkan tambahan materi terkait definisi coaching dan langkah langkah yang dapat diambil dalam proses coaching, khususnya untuk anak didik di sekolah.



Responding

Terkait dengan materi coaching ini, sungguh sangat bermanfaat bagi saya pribadi sebagai seorang guru, yang menghadapi berbagai karakter dan permasalahan dari anak didik. Pengetahuan akan langkah langkah coaching sedikit membuka dan menambah wawasan saya dalam pelaksanaan coaching. Menurut Grant (1999) : “coaching merupakan sebuah proses kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil dan sistematis, dimana coach memfasilitasi peningkatan atas performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi dari coachee. Menurut Whitmore (2003) coaching merupakan kunci pembuka potensi seseorang untuk memaksimalkan kinerjanya, dimana coaching lebih kepada membantu seseorang untuk belajar dari pada mengajarinya. Sedangkan International Coach Federation (ICF) mendifinisikan coaching sebagai bentuk kemitraan bersama klien (coachee) untuk memaksimalkan potensi pribadi dan professional. Dari pengertian-pengertian di atas, maka ada beberapa prinsip teknik coaching, yaitu:

Ø  fokus pada solusi dan berorientasi pada hasil;

Ø  solusi yang diberikan sistematis;

Ø  choaching harus dapat memberikan fasilitas untuk meningkatkan performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi dari choachee;

Ø  coaching dapat membuka potensi dari seseorang untuk menyelesaikan masalahnya sendiri dan memaksimalkan kinerjanya

Ø  coaching membantu seseorang belajar bukan mengajari

Ø  hubungan antara coach dan coachee bersifat kemitraan

Ø  seorang coach bisa siapa saja tidak harus seorang yang ahli atau berpengalaman

 

Pada minggu ini CGP diajak untuk berlatih melakukan coaching dengan diberikan 3 kasus dimana kita diajak untuk bermain peran sebagai seorang Coach, coachee dan pengamat secara bergantian.

Relating

Dalam proses coaching murid diberikan kebebasan dan guru dapat memberikan tuntunan melalui pertanyaan-pertanyaan reflektif agar kekuatan yang dimiliki oleh murid dapat tumbuh. Sebagaimana filosofi Ki Hajar Dewantara bahwa tujuan pendidikan adalah menuntun tumbuhnya atau hidupnya kekuatan kodrat anak sehingga dapat memperbaiki lakunya.

Salah satu penerapan pinsip-prinsip coaching di sekolah yang dapat dilakukan oleh guru agar murid memiliki kemandirian dalam mencari jawaban dari permasalahan pembelajaran dalam suatu materi, maka hendaknya guru memberikan berbagai alternatif kepada mereka untuk menggunakan media, sumber belajar, dan  cara apa yang ingin mereka gunakan sesuai dengan minat, kebutuhan belajar, dan profil belajar murid.

Reasoning 

Coaching menjadi proses yang sangat penting dilakukan di sekolah terutama dengan diluncurkannya program merdeka belajar, di mana program ini membuat murid menjadi lebih merdeka dalam belajar sehingga murid dapat memaksimalkan potensi yag dimiliki. Dari pertanyaan-pertanyaan reflektif yang mendalam akan membuat murid lebih berpikir secara kritis dan mendalam yang akhirnya mereka dapat menemukan potensi yang ada di dalam diri dan kemudian mengembangkan potensi tersebut. Setiap murid memiliki potensi yang berbeda, untuk mengembangkan potensi tersebut, merupakan tanggung jawab seorang guru yang dapat dilakukan dengan proses coachingCoaching merupakan alat untuk dapat memaksimalkan potensi murid, sehingga seorang guru hendaknya memiliki keterampilan coaching diantaranya adalah keterampilan berkomunikasi. Selain keterampilan berkomunikasi, International Coach Federation (ICF) memberikan acuan mengenai empat kelompok kompetensi dasar bagi seorang coach yaitu :

1.      Keterampilan membangun dasar proses coaching

2.      Keterampilan membangun hubungan baik

3.      Keterampilan berkomunikasi

4.      Keterampilan memfasilitasi pembelajaran

 

Salah satu model coaching adalah TIRTA yang dikembangkan dari model coaching GROW yang dikenal sangat luas dan telah diaplikasikan. GROW kepanjangan dari Goal, Reality, Options, dan Will. Model TIRTA dikembangkan dengan semangat merdeka belajar yang menuntut guru untuk memiliki keterampilan coaching. TIRTA kepanjangan dari Tujuan, Identifikasi, Rencana Aksi, dan Tanggung jawab. Dari segi Bahasa TIRTA berarti air. Air mengalir dari hulu ke hilir, jadi apabila diibaratkan murid adalah air maka biarkan mereka merdeka dan mengalir lepas sedangkan guru bertugas menjaga air tersebut tetap mengalir tanpa sumbatan-sumbatan yang dapat menghambat potensi mereka dengan keterampilan coaching yang dimiliki oleh guru.

Recontructing

Setelah mendapat pengetahuan dan wawasan tentang coaching, saya menjadi sedikit lebih memahami apa perbedaan coaching, konseling dan juga mentoring. Saya ingin lebih memperdalam ilmu dan keterampilan ini sebagai kompetensi yang mendukung profesi saya sebagai guru dengan menerapkan model coaching TIRTA (Tindakan, Identifikasi, Rencana Aksi dan Tanggung Jawab) pada setiap permasalahan murid sehingga saya dapat membantu murid untuk menggali potensi yang ada di dalam diri dan mendorong mereka untuk terus berkembang sesuai dengan potensi tersebut. 

 

Friday, March 18, 2022

 

2.2.a.9 Koneksi antar Materi - Pembelajaran Sosial Emosional

Tri Andari Setyaningrum

CGP Angkatan 4_SMA N 7 Surakarta

 

Pemahaman Tentang Pembelajaran Sosial Emosional

Pembelajaran Sosial Emosional (PSE) adalah sebuah proses mengembangkan keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang diperlukan untuk memperoleh kompetensi sosial dan emosional sebagai modal anak dalam berinteraksi dengan dirinya, orang lain dan lingkungan sekitar. Dapat diberikan dalam 3 ruang lingkup yaitu: rutin, terintegrasi dalam mata pelajaran, dan protokol.

Dalam penerapannya PSE setidaknya menerapkan beberapa kompetensi yang harus termaktub dalam pembelajaran. komptensi-kompetensi tersebut tersebut antara lain:

1. Pengelolaan Diri-Mengelola Emosi dan Fokus Untuk Mencapai Tujuan.

Dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat dipungkiri akan terjadi tekanan pekerjaan atau bahkan tugas sekolah yang menumpuk. Banyaknya mata pelajaran yang dialami memungkinkan murid juga menerima banyak tugas. Dengan demikian maka timbullah tekanan dan stress untuk itu perlu skill bagaimana mengelola diri dari emosi dan fokus mencapai tujuan.

2. Pengambilan Keputusan yang yang bertanggung jawab.

Kemampuan pengambilan Keputusan yang bertanggung jawab sesungguhnya adalah kemampuan yang jika secara konsisten dan berkelanjutan ditumbuhkan dan dirasakan sejak dini, akan memungkinkan seseorang tumbuh pribadi yang bertanggung jawab dan lebih berdaya lenting (resilience) dalam menghadapi segala konsekuensi yang harus dihadapi akibat keputusan yang dibuat dalam hidupnya. Seseorang mengambil keputusan yang bertanggung jawab akan mempertimbangkan semua aspek, alternatif pilihan, berikut konsekuensinya, sebelum kemudian mengambil keputusan. Untuk melakukan hal tersebut maka seseorang perlu belajar bagaimana: (a) mengevaluasi situasi, (b)Menganalisis alternatif pilihan mereka dan, (3) mempertimbangkan konsekuensi dari masing-masing pilihan itu terhadap diri mereka sendiri dan orang lain.

3. Kesadaran Sosial-keterampilan Berempati.

Kemampuan berempati dapat membangun hubungan yang lebih melibatkan (engaged) dengan menerima dan memahami orang lain. Cara ini membantu belajar merespon orang lain dengan cara yang lebih informatif dan penuh afeksi ke orang lain sehingga lingkungan yang lebih terbuka akan terbentuk. Keterampilan ini membantu seseorang memiliki hubungan sangat hangat dan lebih positif dengan orang lain. Mengapa? karena empati mengarahkan kita untuk mengurangi fokus hanya kepad diri sendiri, melainkan juga belajar merespon orang lain dengan afeksi. Untuk menanamkan empati dapat di lakukan dengan cara sederhana yaitu dengan menaruh perhatian pada perasaan orang lain dengan bertanya: (a) apa yang di rasakan orang tersebut? (b) apa yang mungkin di lakukan (c) Apa yang saya rasakan jika mengalamai kejadian yang sama. Setelah menanyakannya sebelum berbicara atau bertindak, meyakini bahwa setiap orang berbeda dan memberi dukungan kepada orang lain meskipun berbeda pandangan akan memungkinkan kita untuk bersikap lebih empati pada orang lain.

4. Keterampilan Berelasi-Kerjasama dan Resolusi konflik

Dalam kehidupan sehari-hari pasti akan ditemukan benturan konflik peran dan bagimana membangun kerjasama dengan orang lain. Kemamapuan seseorang untuk menyelesaikan konflik adalah hal yang sangat penting. Apalagi menyelesaikan dengan cara konstruktif dan membantu membina hubungan positif dengan orang lain. Hubungan positif tidak hanya membangun rasa percaya diri tetapi juga diyakini dapat memitigasi stress, melawan penyakit dan memperpanjang umur. Lalu bagaimana mengelola konflik yang terjadi?. di bawah ini merupakan beberapa keterampilan yang dapat digunakan dan dikembangkan untuk membangun kerjasama: (a) keterampilan menyampikan pesan dengan jelas dan mendengarkan secara aktif, (b) Keterampilan Menyampikan sikap setuju dan tidak setuju dengan sikap saling menghargai (c) keterampilan mengelola tugas dan peran dalam konflik.

 

Hubungan antara Pembelajaran Berdiferensiasi dan Pembelajaran Sosial dan Emosional

Dengan kemampuan mengelola emosi maka pembelajaran berdiferensiasi akan dapat dilaksanakan dengan baik.

Pembelajaran berdiferensiasi membutuhkan pemahaman lebih dari seorang guru dari profil murid dan juga memahami bagaimana seorang gurumemahami kebutuhan belajar murid dengan memetakan kemampuan murid sesuai bakat minat , kesiapan belajar dan profil belajar murid. Hal ini membuat seorang guru lebih mendalam mengenal murid secara emosional. Oleh karena itu dalam penerapannya di dalam pembelajaran guru juga tentunya dapat menerapkan komptensi-komptensi yang terdapat dalam PSE dengan baik. Bila seorang guru memahami PSE, maka dalam pelaksanaan strategi penerapan pembelajaran berdiferensiasi guru akan dapat memilih teknik pembelajaran yang tepat.

Selama proses pembelajaran sering terjadi permasalahan dalam interaksi sosial murid, maka dengan teknik PSE dapat membantu guru untuk memudahkan solusi dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab. Hal ini dapat dilihat misalnya jika murid tidak mengerjakan tugas dengan baik maka guru tidak langsung marah dan menjudge murid tersebut malas atau dengan istilah lain namun guru dapat menerapkan kompetensi empati dan mengendalikan diri. Melalui pengenalan profil kemampuan murid guru dapat menerapkan empati dengan mendengarkan alasan murid tersebut mungkin saja karena banyak tugas sehingga tidak punya waktu, atau mungkin kelelahan. Mungkin juga karena membantu orang tua nya bekerja. Dari alasan-alasan tersebut maka guru juga bisa menerapkan kompetensi pengambilan keputusan secara bertanggung jawab sesuai dengan alasan yang telah di kemukakan murid tersebut.

Dengan mengakaitkannya maka guru lebih bijak dalam mengelola murid dan kelas sehingga akan tercipta hubungan yang lebih harmonis dan murid juga senang dalam belajar karena mempunyai guru yang menyenangkan dan bijaksana. Keputusan yang bijak akan membuat anak nyaman karena merasa dihargai dan dipahami. Bayangkan saja jika seorang guru tidak memahami kebutuhan belajar murid atau karakter murid maka dia lebih mengedepankan emosi diri daripada menerapkan rasa empati kepada murid.

Hubungan antara Filosofi Ki Hajar dewantara dan Pembelajaran Sosial dan Emosional

Pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan adalah bagaimana memerdekakan belajar, guna mencapai kemerdekaan belajar yang goalnya adalah menjadi murid dengan profil pelajar Pancasila. Ini berarti dalam melaksanakan pendidikan dan pengajaran kepada anak-anak, Ki Hajar Dewantara menganjurkan agar pendidik tetap memperhatikan segala potensi anak-anak, yaitu jiwa, jasmani, etika, moral, estetika dan karakter. Dalam pendidikan, guru ibarat petani, yang menyiapkan lahan, memupuk, mengairi, dan membersihkan hama agar bibit tumbuh subur, berbunga, kemudian berbuah. Selain itu pendidikan bagi murid harus menyesuaikan sebagai kodrat alam dan zaman, pendidikan budi pekerti, dan pendidikan yang berpusat pada murid. Disini dapat dilihat jelas bahwa PSE menjadi salah satu sarana yang paling tepat untuk mewujudkan Pendidikan yang sesuai dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara. Dalam konteks pendidikan di sekolah, pemikiran Ki Hadjar Dewantara telah diterapkan antara lain pada penanaman disiplin, etika, sopan santun, budaya lokal, maupun penanaman nilai-nilai keagamaan. 

 

Hubungan antara Nilai dan peran Guru dan Pembelajaran Sosial dan Emosional

Dengan melakukan Pembelajaran Sosial dan Emosional akan dapat semakin  menumbuhkan nilai guru (Mandiri, Reflektif, Kolaboratif,Inovatif, serta berpihak kepada anak atau murid) dan peran pada guru (bagaimana menjadi Pemimpin Pembelajaran, Menggerakkan komunitas Praktisi, Menjadi Coach bagi guru yang lain, Mendorong kolaborasi antara guru dan mewujudkan kepemimpinan pada murid). Jika seorang guru mampu menjalankan perannya sesuai nilai-nilai yang dimiliki seorang guru penggerak akan mampu memberikan dampak positif terhadap orang orang dan lingkungan di sekitarnya. Mampu menggerakkan komunitas sekitarnya ke arah yang lebih baik demi terciptanya merdeka belajar dan sekaligus dalam menerapkan pembelajaran sosial dan emosional maka seorang guru pasti akan menerapkan pengelolaan emosi, sehingga pembelajaran yang berpihak pada murid akan dapat diwujudkan dengan baik dan seimbang.

 

Hubungan antara Visi Guru Penggerak dan Pembelajaran Sosial dan Emosional

Visi adalah berkaitan dengan want to be seseorang, suatu organisasi atau kelompok. Visi sekolah berarti gambaran masa depan sekolah yang diharapkan akan terwujud, mulai dari input, proses, maupun outputnya. Visi seorang  guru berarti   gambaran tujuan yang ingin dicapai oleh seorang guru yang memuat nilai-nilai yang diyakininya. Visi menentukan tujuan, sedangkan nilai-nilai  menentukan cara untuk mencapai tujuan tersebut. Dengan menerapkan pembelajaran sosial emosional maka seorang guru harus memiliki visi untuk mewujudkan muridnya menjadi murid yang cerdas dan berkarakter, kaya akan prestasi dan penuh karya mengarah menuju profil pelajar Pancasila.

 

Hubungan antara Disiplin Positif dan Pembelajaran Sosial dan Emosional

Budaya positif adalah nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan kebiasaan-kebiasaan di sekolah yang berpihak pada murid agar murid dapat berkembang menjadi pribadi yang kritis, penuh hormat dan bertanggung jawab. Budaya positif hendaknya menjadi karakter guru, murid, serta semua warga sekolah. Sekolah diharapkan menjadi lingkungan yang aman, nyaman dan menyenangkan bagi murid untuk belajar. Budaya positif hendaknya menjadi karakter bagi seluruh warga sekolah, baik murid maupun guru serta pemangku kepentingan. Budaya positif tidak dapat terbentuk secara instant namun melalui proses suatu Tindakan, Tindakan yang terus menerus akan menjadi kebiasaan dan kebiasaan yang terus menerus akan membentuk suatu karakter. Maka penerapan Tindakan budaya positif di sekolah perlu sekali di tanamkan. Dalam pembelajaran sosial emosional sangat berkaitan dengan budaya positif karena dengan kemampuan pengendalian diri, kemampuan kesadaran sosial berempati, kesadaran berelasi serta mampu mengambil keputusan  yang lama kelamaan menjadi suatu kebiasaan makan wujud budaya positif di sekolah akan terwujud.

 

 

 

 

 

 

Monday, March 14, 2022

 

Jurnal Refleksi Minggu ke 13

Tri Andari Setyaningrum

CGP Angkatan 4 - 1552

 

 

Jurnal Refleksi kali ini menggunakan model 4F Facts, Feelings, Findings, Future).

Facts

Minggu ini, pembelajaran dimulai dengan eksplorasi konsep pada topik Pembelajaran Sosial dan Emosional. Saya memulai dengan mengamati video tentang pembelajaran sosial-emosional, mindfulness, cara kerja otak, teknik STOP, membaca bahan bacaan tentang kesadaran diri, pengelolaan diri, kesadaran sosial, keterampilan berelasi, dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab. Saya juga mempraktikkan teknik STOP. Dalam sesi diskusi asinkron, saya membedah lima kasus yang disajikan, memberikan analisis dan kemungkinan-kemungkinan, kemudian mempostingnya dalam forum diskusi yang telah disediakan pada LMS untuk didiskusikan bersama rekan CGP lainnya. Dalam diskusi ini, saya mendapat berbagai masukan dan penguatan, serta memberikan masukan dan apresiasi kepada rekan lain. Hambatan yang saya temui dalam pembelajaran ini adalah saya terkendala waktu mengerjakan, karena berbarengan dengan tugas pekerjaan tambahan yang lain yang harus saya selesaikan. Kegiatan minggu ke-13 ini ada juga Eksplorasi konsep mengenai Pembelajaran  dan Kompeteni Sosial-Emosional (KSE) secara mandiri dan diskusi melalui forum. Setelah mempelajari mengenai KSE banyak hal yang baru yang saya pelajari dan banyak hal yang menjadi pertanyaan mengenai KSE tersebut, diantaranya mengenai pengintegrasian kompetensi tersebut dalam pembelajaran. Dari rangkaian kegiatan minggu ini, saya semakin memahami mengenai Pembelajaran Sosial-Emosional, terutama dari studi kasus yang kami coba pecahkan. Pertanyaan-pertanyaan yang sebelumnya muncul mulai terjawab dari hasil diskusi dan pemaparan dari fasilitator. Kemudian dilanjutkan dengan ruang kolaborasi diskusi dan presentasi KSE. Dari kegaiatan saya jadi lebih memahami Penerapan KSE, baik rutin, terintegrasi dalam pembelajaran untuk mewujudkan merdeka belajar bagi peserta didik.

Feelings

Dalam mempelajari Pembelajaran Sosial dan Emosional, saya merasa tertarik, antusias, dan ingin tahu lebih dalam. Materi ini sangat aplikatif, berguna dalam menghadapi berbagai masalah dan tekanan, seperti menghadapi siswa, hubungan dengan rekan guru dan atasan, hubungan dengan keluarga, maupun pergaulan di masyarakat. Saya merasa perlu untuk menerapkan kesadaran penuh dalam setiap kegiatan saya, perlu mengelola diri dengan lebih baik, meningkatkan kesadaran sosial, keterampilan berelasi, dan belajar mengambil keputusan dengan bertangungjawab. Kami mempelajari juga tentang 5 Area Pembelajaran Sosial-Emosional Utama. Memahami konsep pembelajaran sosial-emosional dapat dibantu dengan memecahnya menjadi beberapa bidang utama. Dengan demikian, Collaborative for Academic, Social, and Emotional Learning (CASEL) telah menciptakan kerangka kerja ‘CASEL 5’, yang menguraikan lima keterampilan inti atau bidang yang terkait dengan pembelajaran sosial-emosional.

Bagian di bawah ini mengeksplorasi lima bidang keterampilan ini secara lebih rinci:

1.     Kesadaran diri

2.     Kesadaran sosial

3.     Keterampilan berelasi

4.     Pengelolaan diri

5.     Pengambilan keputusan yang bertanggungjawab

Findings

Selama ini saya menjalani profesi sebagai guru, ternyata saya belum sepenuhnya menggunakan kesadaran penuh dalam melaksanakan kegiatan maupun menghadapi masalah. Saya seringkali reaktif terhadap suatu situasi. Proses pembelajaran selama seminggu ini memberikan banyak pengetahuan mengenai kesadaran penuh, mengelola emosi, mengelola diri, empati, keterampilan berelasi, dan pengambilan keputusan yang bertanggungjawab. Kompetensi Sosial dan Emosional ini sangat penting dalam menjalankan peran saya sebagai guru. Pembelajaran sosial dan emosional dapat diberikan dalam tiga ruang lingkup:

  1. Rutin: pada saat kondisi yang sudah ditentukan di luar waktu belajar akademik, misalnya kegiatan lingkaran pagi (circle time), kegiatan membaca setelah jam makan siang
  2. Terintegrasi dalam mata pelajaran: misalnya melakukan refleksi setelah menyelesaikan sebuah topik pembelajaran, membuat diskusi kasus atau kerja kelompok untuk memecahkan masalah, dll.
  3. Protokol: menjadi budaya atau aturan sekolah yang sudah menjadi kesepakatan bersama dan diterapkan secara mandiri oleh murid atau sebagai kebijakan sekolah untuk merespon situasi atau kejadian tertentu. Misalnya, menyelesaikan konflik yang terjadi dengan membicarakannya tanpa kekerasan, mendengarkan orang lain yang sedang berbicara, dll.

Future

Pembelajaran yang saya dapatkan mengenai Kompetensi Sosial dan Emosional ini saya rasa belum cukup, masih perlu diperdalam melalui diskusi, mengamati praktik baik rekan guru, dan penjelasan-penjelasan dari fasilitator. Dengan mempelajari lebih dalam tentang Kompetensi Sosial dan Emosional dan praktiknya di kelas, saya akan lebih siap menghadapi berbagai situasi yang perlu respon yang tepat, dapat menjalin hubungan baik dengan siswa, rekan guru, dan kepala sekolah, dapat bekerja sama dalam menjalankan tugas secara kolaboratif, dan mengambil keputusan yang bertanggung jawab.

Sunday, March 6, 2022

 

2.2.a.10.1. Jurnal Refleksi - Minggu 12

Oleh

Tri Andari Setyaningrum,S.Pd.,M.Pd

(CGP Angkatan 4.1552)

 

Pada jurnal minggu 12 ini kami menggunakan Model 1: 4F (Facts, Feelings, Findings, Future). 4F merupakan model refleksi yang dikembangkan oleh Dr. Roger Greenaway.


1.  Facts (Peristiwa):

Pada minggu ini kami masih belajar tentang Pembelajaran Berdiferensiasi yaitu 2.1.a.9 koneksi antar materi dimana kami diminta untuk membuat kesimpulan tentan pembelajaran berdiferensiasi dan bagaimana hal ini dapat dilakukan di dalam kelas. Selain menjelaskan bagaimana pembelajaran berdiferensiasi dapat memenuhi kebutuhan belajar murid dan membantu mencapai hasil belajar yang optimal kami juga harus menjelaskan tentang kaitan antar materi dalam modul ini dan modul sebelumnya di program guru penggerak. Keterkaitan koneksi antar materi pembelajaran berdiferensiasi dengan filosofi KHD, nilai dan peran guru penggerak, visi dan misi, budaya positif dan BAGJA. Selain koneksi antar materi kami juga perlu menyiapkan aksi nyata yang kami akan lakukan atau praktekkan di dalam kelas. Setelah itu kami menuju modul 2.2 yaitu tentang pembelajaran sosial emosional. Hal yang akan kami pelajari dalam minggu ini adalah :



 

Pembelajaran sosial emosional berawal dari mulai dari diri dimana kami diajak untuk merefleksi apa yang pernah kami lakukan atau pengalaman apa yang pernah kami miliki sebagai seorang guru baik tentang emosi positif ataupun emosi negative yang timbul dalam diri kami sebagai seorang guru. Selain itu kami juga mempelajari tentangeksplorasi konsep dimana ada beberapa yang kami pelajari yaitu kesadaran diri, kesadaran sosial, ketrampilan berelasi, pengelolaan diri dan pengambilan keputusan yang bertanggungjawab.

 

2.  Feelings (Perasaan):

Perasaan kami saat pembelajaran LMS tentang pembelajaran sosial emosional merasa sangat antusias dan tertarik karena sangat bermanfaat bagi diri kami sendiri yakni kami dapat menyadari diri kami secara pribadi, gejolak emosi yang timbul dalam diri kami, bagaimana kami mengelola emosi kami, bagaimana kami berelasi dengan orang lain dalam mencapai tujuan dan bagaimana kami dihadapkan untuk pengambilan keputusan. Kami senang karena kami diajarkan untuk lebih memahami apa itu mindfulness atau kesadaran penuh untuk focus dalam mencapai tujuan. Hal ini membuat kami semakin ingin tahu dan ingin mempelajari lebih lanjut tentang pembelajaran sosial emosional.


3.  Findings (Pembelajaran):

Pelajaran yang kami peroleh adalah pembelajaran sosial emosional. pembelajaran sosial-emosional dapat didefinisikan sebagai “proses pengembangan kesadaran diri, pengendalian diri, dan keterampilan interpersonal yang penting untuk sekolah, pekerjaan, dan kesuksesan hidup.” Memahami konsep pembelajaran sosial-emosional dapat dibantu dengan memecahnya menjadi beberapa bidang utama. Dengan demikian, Collaborative for Academic, Social, and Emotional Learning (CASEL) telah menciptakan kerangka kerja ‘CASEL 5’, yang menguraikan lima keterampilan inti atau bidang yang terkait dengan pembelajaran sosial-emosional.

Bagian di bawah ini mengeksplorasi lima bidang keterampilan ini secara lebih rinci:


a.    Kesadaran Diri. 

Kesadaran diri  adalah sebagai kemampuan untuk “memahami emosi, pikiran, dan nilai diri sendiri dan bagaimana mereka memengaruhi perilaku lintas konteks.” Sebuah artikel Landmark Outreach menguraikan beberapa keterampilan utama yang terkait dengan kesadaran diri. Keterampilan ini mencakup kemampuan siswa untuk mengenali dan mengidentifikasi emosi mereka sendiri, mengembangkan persepsi “diri” yang sesuai dengan kenyataan, percaya pada kapasitas mereka untuk mencapai tujuan, dan menentukan area kekuatan dan kelemahan mereka. Pada dasarnya, bagi siswa, kesadaran diri adalah tentang refleksi diri dan membangun pemahaman tentang siapa mereka sebagai pribadi.


b.    Pengelolaan Diri. 

Pengelolaan diri adalah sebagai kemampuan untuk “mengelola emosi, pikiran, dan perilaku seseorang secara efektif dalam situasi yang berbeda” untuk mencapai aspirasi pribadi. Beberapa keterampilan utama yang terkait dengan pengelolaan diri termasuk menetapkan tujuan, mempertahankan perhatian, mengelola dan mengendalikan emosi, menunjukkan ketahanan, dan memanfaatkan umpan balik untuk membuat kemajuan pribadi.


c.    Kesadaran Sosial. 

Kesadaran sosial juga melibatkan menunjukkan empati dan pengertian. Keterampilan tersebut mencakup kemampuan untuk memahami perspektif orang lain, untuk menghargai setiap perbedaan dan pola pikir dari setiap orang.


d.    Ketrampilan berelasi atau menjalin hubungan. 

Bidang keterampilan utama keempat yang terkait dengan pembelajaran sosial-emosional adalah bidang keterampilan berelasi atau menjalin hubungan yaitu kemampuan untuk membangun dan memelihara hubungan positif dengan orang lain dan belajar bagaimana berkomunikasi dengan orang lain secara efektif sambil melawan tekanan sosial negatif di sepanjang jalan. Selain itu belajar untuk bekerja dengan baik dengan orang lain dan mencapai tujuan atau sasaran bersama. Fokus yang kuat juga ditempatkan pada resolusi konflik dan pemecahan masalah kolaboratif, yang dapat membantu siswa ketika diminta untuk bekerja sebagai bagian dari tim atau berkolaborasi dengan pasangan. Selanjutnya adalah  keterampilan kepemimpinan. Menanamkan keterampilan tersebut tidak hanya berarti mengembangkan keterampilan untuk memimpin sekelompok orang menuju tujuan bersama, tetapi juga berarti menciptakan rasa keadilan sosial dan bersedia membela kebutuhan dan hak orang lain.


e.    Pengambilan Keputusan yang Bertanggung Jawab. 

Yang terakhir dalam pembelajaran sosial-emosional adalah pengambilan keputusan yang bertanggung jawab. Keterampilan ini dapat digambarkan sebagai kemampuan untuk membuat keputusan yang etis, aman, peduli, dan konstruktif sambil tetap memperhatikan konsekuensi dari perilaku pribadi atau hasil potensial yang mungkin muncul dari pilihan yang berbeda. Pada akhirnya, komponen pengambilan keputusan yang bertanggung jawab mengajarkan siswa untuk mengevaluasi potensi manfaat dan konsekuensi keputusan mereka. Ini juga tentang keterampilan ini yang diterapkan di dalam dan di luar sekolah.

Collaborative for Academic, Social, and Emotional Learning (CASEL) telah menciptakan kerangka kerja ‘CASEL 5’, yang menguraikan lima keterampilan inti atau bidang yang terkait dengan pembelajaran sosial-emosional, yaitu :

1.   Kesadaran diri

2.   Manajemen diri

3.   Kesadaran sosial

4.   Keterampilan hubungan

5.   Pengambilan keputusan yang bertanggung jawab

 

4.  Future (Penerapan):

Yang ingin kami lakukan adalah menerapkan pada diri kami sendiri terlebih dahulu yaitu:

1.   Kesadaran diri

2.   Pengelolaan diri

3.   Kesadaran sosial

4.   Keterampilan berelasi menjalinhubungan

5.   Pengambilan keputusan yang bertanggung jawab

Kemudian menerapkan pada siswa di kelas, sehingga jika semua siswa dapat menyadari emosi yang timbul dalam dirinya dan mengelola emosinya serta dapat berelasi dengan orang lain maka akan dapat mengambil keputusan yang bertanggung jawab.

 

 

 

          Kode Modul Ajar   ING.E.10.1.5 Nama Penyusun/Institusi/Tahun   Tri Andari Setyan...